My Favorite

Favorite Place. Favorite Man.

Kunjungan Pertama

Kunjungan pertama ke negeri Singa. Bosan dengan Merlion, bergaya dengan latar landmark lainnya.

Kuku Ku

Cantik? ^^

Hobi lama yang terlupakan, kutekan. Tadi tiba-tiba keinginan ngewarnain kuku muncul. Sempat tertunda bentar, trus langsung deh ngeluarin perlengkapannya dan beraksi.

Polesan kali ini lebih berantakan dari yang sebelumnya *sepertinya seh karna kelamaan ga diasah :P Jadi lah waktu untuk ngerapiin lebih lama dari yang dibutuhkan untuk moles-moles. Tapi, hasil akhirnya tak mengecewakan :)

Uhh, jadi nyesel waktu mau foto kemaren itu ga kutekan dulu. Padahal udah ada rencana, tapi ga kejadian.

Khusus untuk hari H nanti mau beli kutek baru! Warnanya, Rose! :D


-Ling-

Cakep!

Mau norak dikit ah..

Es krim temannya Chocolate Fudge di Fish & Co Emporium Pluit, cakep! Bentuknya mawar ^^

Ga tau ini sekarang ada di semua outlet Fish & Co atau cuma yang di Emporium Pluit aja *dulu ke outlet-nya yang lain es krimnya cuma disajikan scoop biasa aja


-Ling-

Decided!

After almost a week,
After those arguments,
Here we go the selected codes...

3562
3568
3580
3581
3588
3626
3645
3654
4080
4086
4108
4133
4145
4156
4179
4180
4192
4200
4211
4228
4265
4284
4308
4319
7981
7989
7991
8007
8010
8016
8022

And the winner goes to... 7989!
Yeay!! :D


-Ling-

Rings

Match or not?

I fall at the first sight for the right one! Unfortunately, he don't feel the same. "Too much stones", he said. Then, I eyed the left one. Thinking to pick and customise it with blue stone.

Second tempting option, "the left with blue stone" for him, and "the right" for me! Not decided yet. Let's see how its end.

*Wish could afford both..


-Ling-

Teplek!

Loves it! :D
Gue banget, teplek!

Setelah berbulan-bulan hunting sepatu akhirnya dapat juga yang modelnya sesuai dan on budget ^^

Capek-capek browsing dan muter-muter di Mangga Dua, eh malah ketemu di tempat yang tak terduga, malah, perginya ga direncanakan sama sekali. Memang "semua ada waktunya".


-Ling-

Gimana Gitu..

Penyakit "last minutes" yang uda menahun ternyata benar-benar ga pandang bulu. Bahkan untuk urusan yang satu ini pun masih juga berlaku. Rasanya gimana gitu kalo menyelesaikan segala sesuatunya dari jauh-jauh hari. Meski teman dan saudara udah mengingatkan berulang kali, tapi tetap aja.

Efeknya, kalo ditanya persiapan udah sampe mana, gue kadang bingung mau ngejawab apa. Bilang udah, tapi belum. Dibilang belum, udah lumayan. Uda siap sedia, tapi belum dieksekusi.

Singkat kata, pada gregetan kalo tau gue belum pesan ini dan itu. Komentar yang masuk, "nanti ga keburu lho", "nanti ada yang kelupaan lho", "mending beresin dulu", yang lebih keras, "mau nunggu sampe kapan? Waktu uda mepet!", dll.

Pada dasarnya seh gue bukannya ga mau mendengarkan saran yang masuk, tapi kalo undangan uda numpuk di rumah dari jauh-jauh hari rasanya gimana gitu.

Seiring waktu yang semakin menipis, tujuh minggu menuju hari H, akhirnya gue bisa menjawab dengan tenang jika ada yang bertanya. Hal utama udah menemukan titik terang huehehehe..

Next, detail update ^^


-Ling-

Kecewa

Memilih diantara pilihan merupakan suatu tantangan.
Memilih dalam keterbatasan, diperlukan kebijaksanaan.
Menerima hasil pilihan yang mengecewakan, diperlukan kelapangan. Berat.


-Ling-

Angry Bird: Chrome

Angry Bird Lovers, berbahagia lah! Kita kembali bisa menikmati permainan yang satu ini dalam versi yang serupa tapi tak sama langsung dari browser chrome! Yup! Langsung. Langsung klik dan mulai main tanpa harus mendownload atau pun menginstall terlebih dahulu.
Tanpa buang waktu lagi, langsung saja menuju ke http://chrome.angrybirds.com dan memulai permainan ^^

-Ling-

Passport

Selama ini gue seringkali menyebut diri sendiri sebagai penyuka travelling. Selama ini juga seringkali meng-kambing-hitamkan "uang" untuk mimpi yang belum terealisasi itu. Gamparan keras seketika terasa di pipi begitu membaca artikel yang masuk dari milis alumni berikut. Satu kata, malu hati.

Passport
Oleh Rhenald Kasali


Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.


"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?" Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.


Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu  tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya. Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.


Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. Dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak- balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport. Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. 

Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.

Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.


Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. 


Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

* Guru Besar Universitas Indonesia
Jawapos, 8 Agustus 2011


Jiwa petualang dalam diri terasa bergejolak. Tak ketinggalan disertai dengan penyesalan akan tak adanya usaha yang dilakukan untuk mencapai mimpi keluar negeri.

-Ling-








Semoga

Wahhh.. udah pertengahan Agustus! Cepat sekali waktu berlalu.

Pertama kalinya neh bisa menemukan postingan dari tiga bulan berbeda di halaman utama LINGism.com. Pertanda semakin tidak bertanggungjawabnya diri ini :( Maafkan daku..

Semoga gue bisa kembali merangkai kata untuk semua kejadian special yang telah terlewatkan oleh LINGism.com. Semoga..


-Ling-